Rabu, 11 Februari 2015

Cerita Sukses THE S.I.G.I.T - Part 9

Discography
Albums
Visible Idea of Perfection (2006 on FFCUTS Records/2007 on Caveman! Records/ Reverberation)
EPs
Self Titled (2004 on Spills Records)[7]
Self Titled (2007 on Caveman! Records/ Reverberation)[8][9]
Hertz Dyslexia Part.1 (June 2009 on FFCUTS Records, includes DVD)[10][11]
Compilations/Soundtracks
Catatan Akhir Sekolah movie soundtrack (2005)
Radit dan Jani movie soundtrack (2008)

by 

Cerita Sukses THE S.I.G.I.T - Part 8

Rekti mengakui bahwa keinginan untuk menjadi full time musician itu sebenarnya telah ada di benak mereka. “Alangkah indahnya kalau kami bisa menjadikan band sebagai full time. Kenyataannya tidak semudah yang dibayangkan. Penghasilan yang didapat dari band saat ini masih menjadi pendukung untuk mengemban inventaris peralatan. Uang yang kami dapat dari band biasanya digunakan untuk beli peralatan musik dalam rangka mendukung pembuatan lagu yang kami idam-idamkan. Saya jadi teringat wejangan dari seseorang yang pernah bilang ‘usaha dulu yang tekun, uang pasti menyusul.’ Kalau mikir uang terus jadinya stres. Selama masih bisa ngeband tanpa harus menjual barang, saya pribadi sih enggak apa-apa. Lagi pula saya pribadi enggak punya hasrat terhadap harta yang berlebih. Kalau kaya pun pasti uangnya buat beli alat musik atau piringan hitam. Jadi menurut saya, saat ini tahap band kami adalah full time musician for musical purpose dan another job for another purpose.”
Dengan berbagai penghargaan dan popularitas yang mereka dapat sejauh ini, The S.I.G.I.T mengaku masih berusaha keras untuk dapat menghasilkan karya sebagus mungkin. Karena mereka merasa masih belum puas dengan apa yang telah dihasilkan selama ini. “Yang pasti kita nggak pengen cepet puas karena kalau udah puas akan kehilangan tujuan.”
Bagi The S.I.G.I.T definisi sukses bagi sebuah band bukan hanya dinilai dari materi. Sukses bisa berasal dari berbagai unsur lain selain materi. Dari awal terbentuk, mereka menjalani karir musik ini tanpa ambisi yang besar. Bagi mereka, lebih baik fokus berkarya dan terus bertahan daripada hanya memikirkan bagaimana bisa mendapatkan uang yang banyak dari bermain band. Menurut Rekti, “Kalau ngeband dengan persepsi suksesnya materi, lebih baik cari kerjaan lain aja.”

http://thesigit.com/
http://www.myspace.com/thesigit
http://twitter.com/thesigit


by

Cerita Sukses THE S.I.G.I.T - Part 7

Setelah itu, nama The S.I.G.I.T kian bergaung di dunia internasional. Di tahun 2008 mereka diundang tampil dalam salah satu festival musik terbesar di Amerika Serikat, South by Southwest (SXSW) di Texas. Namun karena bermasalah dengan visa, maka kepergian mereka akhirnya ditunda hingga tahun 2009 dimana mereka tidak hanya tampil dalam festival SXSW, namun juga tampil di panggung-panggung pada kota Los Angeles dan San Fransisco.

Banyak pengalaman dan pelajaran yang dipetik oleh mereka selama perjalanan ke luar negeri. “Kesan yang paling bersisa adalah pengalaman mengamati pola kerja band disana. Bagaimana mereka menjalani sebuah tur, mempersiapkan diri mereka, penampilan mereka. Banyak hal yang kami pelajari dalam hal-hal terebut. Mereka sangat sistematis. Mungkin karena infrastruktur industri hiburan dan musik sudah mapan sehingga segalanya seperti memudahkan musisi dalam bekerja. Di sana seorang musisi atau band tidak perlu pusing dengan masalah sepele seperti venue, peralatan, ketepatan waktu, keamanan, equipment dan hal kecil lainnya. Mereka hanya dipusingkan oleh masalah bagaimana membuat lagu yang bagus dan bagaimana menampilkan sebuah pertunjukkan yang menarik. Makanya mereka terlihat lebih fokus dengan apa yang mereka kerjakan,” jelas Rekti panjang lebar.

Antara Materi dan Kesuksesan
Sementara itu apa yang terjadi di kehidupan para personil The S.I.G.I.T itu sendiri hingga saat ini mereka belum tentu bisa 100 persen fokus terhadap kegiatan bermusik yang mereka cintai. Yang menjadi dasar, tentunya faktor penghasilan yang belum bisa menghidupi secara keseluruhan. Karena itu di sela-sela kegiatan bermusik, beberapa personil The S.I.G.I.T masih ‘harus’ menjalani kegiatan pekerjaan lainnya.
 

Cerita Sukses THE S.I.G.I.T - Part 6

The Insurgent Army berawal dari penggemar yang dulu bersekolah di Taruna Bakti. Mereka selalu hadir dalam setiap pertunjukkan dan selalu bertambah jumlahnya setiap kalinya. “Peran penggemar yang paling terasa adalah upaya mereka dalam membantu kami menyebarkan berita atau word of mouth. Semakin luas cakupan word of mouth, semakin kuat fanbase. Maka dari itu bisa saya katakan kalau The S.I.G.I.T bisa seperti sekarang karena bantuan dan antusiasme dari fanbase. Tanpa ada mereka kami tidak akan seperti sekarang mengingat minimnya coverage dari media besar seperti televisi,” ujar Rekti mengenai basis penggemar The S.I.G.I.T yang ia sangat hargai itu.
Berbicara di Dunia Internasional
Dengan ramuan musik yang rancak serta basis penggemar yang besar, pada perjalanan karir selanjutnya, The S.I.G.I.T menjadi incaran dari berbagai label musik. Pilihan mereka lalu jatuh kepada FFCUTS, sebuah divisi khusus musik rock dari label FFWD yang dikenal sukses menaungi band Mocca. Di bulan Desember 2006, The S.I.G.I.T akhirnya merilis debut album penuh mereka yang bertajuk Visible Idea of Perfection. Tidak berapa lama, sebuah label asal Australia, Caveman juga tertarik untuk merilis album The S.I.G.I.T di negeri kangguru. Maka pada bulan Juni 2007, album Visible Idea of Perfection resmi beredar di seluruh Australia. Dan untuk mendukung promo album, pada tahun yang sama, The Sigit menggelar tur selama sebulan penuh dimana mereka bermain di sembilan kota dan tampil di 16 panggung berbeda.

by

Cerita Sukses THE S.I.G.I.T - Part 5

Hubungan erat antar komunitas ini terus berjalan beriringan. Semua sektor saling terkait. Dari musik hingga fashion. Dari sini, musik pun dapat menjadi salah satu faktor pendukung industri kreatif. Contoh paling nyata adalah merchandise band. Rekti berpendapat, “Penjualan merchandise seperti kaos adalah contoh komoditi ekonomi sebuah band yang paling gamblang. Jika sebuah band memiliki penggemar yang banyak dan memiliki produk merchandise yang menarik tentunya penjualannya akan berbanding lurus. Menurut saya sih hubungan antara band dan sebuah clothing adalah mutual. Sebuah band yang bagus akan menarik perhatian pembeli produk clothing. Sebaliknya sebuah clothing yang kredibilitasnya bagus akan membantu mengangkat nama band.”
Satu hal yang pasti, target pasar dari penjualan merchandise sebuah band adalah penggemar dari si band itu sendiri. Semakin besar komunitas penggemar pada sebuah band, maka akan besar juga kemungkinan merchandise tersebut akan dikonsumsi. Untuk The S.I.G.I.T mereka telah memiliki basis penggemar yang cukup besar. Penggemar The S.I.G.I.T menamakan diri mereka sebagai The Insurgent Army.

by

Cerita Sukses THE S.I.G.I.T - Part 4

Namun walau The S.I.G.I.T lahir di era musik yang bisa dikatakan tidak cukup bergeliat dibandingkan era sebelumnya, mereka mengakui bahwa peran berbagai komunitas yang tersebar di Bandung ini cukup berperan pada karir mereka pada khususnya dan karir banyak band independent lainnya di kota Bandung. Semenjak periode 90-an, Bandung dikenal sebagai kota kreatif yang memiliki ikatan berbagai komunitas yang cukup kuat. Dari situlah, semua sektor yang ada saling melengkapi.

“Komunitas itu biasa terbentuk tanpa sengaja. Biasanya awalnya hanya bermain bersama dan berlanjut menjadi sebuah kegiatan bersenang-senang. Hal ini membuat orang-orang yang terlibat menjadi lebih santai. Lebih mengedepankan sisi kekeluargaan atau pertemanan serta mudah berbaur. Makanya jarang ada perselisihan antar komunitas karena batas antara komunitas yang satu dengan yang lainnya juga tidak jelas. Keuntungan dari kondisi tersebut adalah: semua orang kenal semua orang (everyone knows everyone) dan relasi terjalin lebih mudah dan cepat. Kemudian terjadilah penyebaran berita mengenai sebuah band (word of mouth), berita sampai ke tangan orang yang tepat (radio, majalah, label, dll yang biasanya juga masih dalam lingkaran everyone knows everyone) Pada akhirnya sebuah band mendapatkan apa yang mereka butuhkan.” kata Rekti.

Cerita Sukses THE S.I.G.I.T - Part 3

Penampilan perdana mereka di bawah nama The S.I.G.I.T terjadi pada tanggal 23 Oktober 2003 dalam sebuah acara fakultas Arsitektur, Universitas Parahyangan. Kebetulan Farri dan Acil memang berkuliah disana. Setelah penampilan perdana tersebut, nama The S.I.G.I.T pelan-pelan mulai bergaung di kalangan kampus. Acara demi acara di kampus mulai menjadi santapan mingguan mereka.
Hingga pada saat itu, mereka mendapat tawaran dari Spills Records untuk merilis sebuah mini album. Di tahun 2004, debut mini album yang hanya dikerjakan dalam waktu dua minggu akhirnya dirilis dan mendapat sambutan positif dari berbagai pihak. Walau begitu, pemunculan mereka kala itu juga tidak lepas dari komentar miring sebagian pihak yang menganggap mereka hanyalah band yang mengikuti tren saja. Anggapan itu muncul karena musik rock yang mereka mainkan serupa dengan musik garage rock yang di awal periode 2000-an sedang naik daun. Untuk anggapan miring tersebut, Rekti berpendapat, “Memang kebetulan pada era awal 2000an sedang marak band-band rock revival seperti The Strokes, The Datsuns, The White Stripes dan mereka saat itu ‘dilabeli’ sebagai garage rock. Memang kami mengikuti dan mendengarkan band-band tersebut. Bukan karena sedang booming, melainkan karena kami selalu menggemari musik semacam itu. Dan yang kami rasakan saat itu adalah euforia. Bayangkan gimana rasanya aliran musik yang anda gemari bangkit kembali dan bermunculan lagi band-band yang menarik. Namun tanpa adanya booming garage rock pun saya yakin kami akan menjadi band seperti kami sekarang, yang mendapatkan banyak influence dari band rock 60-70an.”
Promosi Word of Mouth
The S.I.G.I.T adalah satu dari sekian band yang lahir di periode 2000 di Bandung. Sebuah masa dimana menurut mereka adalah stagnan dan pasif jika dibandingkan dengan periode musik era 90-an di Bandung. “Kalau dilihat dari intesitas acara, tahun 90’an scene-nya lebih hidup. Walaupun acara-acara yang diadakan masih modal udunan (patungan) dan non-profit, namun semua pelaku yang terlibat di dalamnya sangat aktif dan sungguh-sungguh. Etos DIY (Do It Yourself) sangat kuat pada masa itu. Hampir semua band yang punya lagu sendiri merilis album (dengan modal sendiri juga),” ucap Rekti.
 

Cerita Sukses THE S.I.G.I.T - Part 2

Kemampuan bermain musik yang mereka pelajari secara otodidak menjadi modal awal untuk menjadi ‘anak band’. “Skill permainan masing-masing juga berawal dari tahap yang sama dan pengembangan skill permainan dan pembuatan lagu juga diasah bareng selama ini,” tukas Rekti.

Walau sudah bermain musik bersama sedari SMP (1997), namun nama The S.I.G.I.T baru digunakan pada tahun 2002, saat mereka tengah duduk di bangku perguruan tinggi seiring juga mereka memfokuskan diri untuk memainkan lagu-lagu ciptaan sendiri. Sebelum menggunakan nama The S.I.G.I.T, band ini kerap memainkan berbagai lagu dari banyak band idola mereka seperti Led Zeppelin, The Clash dan The Stooges.
Nama The S.I.G.I.T sendiri merupakan kepanjangan dari The Super Insurgent Group of Intemperance Talent yang merupakan buah pikiran Rekti yang terinspirasi dari nama-nama band di luar sana yang kerap menggunakan singkatan yang memiliki banyak arti.
 

Cerita Sukses THE S.I.G.I.T - Part 1



            The S.I.G.I.T bukanlah sebuah band karbitan yang sekedar mengandalkan unsur keberuntungan. Perjalanan karir mereka dimulai dari pertemanan semenjak duduk di bangku sekolah menengah pertama. Proses demi proses mereka lalui hingga kini The S.I.G.I.T banyak dianggap sebagai salah satu grup musik garda depan dari generasi muda di dunia musik rock Indonesia.

Pada awalnya, para personil The S.I.G.I.T yakni Rektivianto Yoewono (Vocal, gitar), Farri Icksan Wibisana (Gitar), Aditya Bagja Mulyana (Bas, vokal latar) dan Donar Armando Ekana / Acil (Drum) hanyalah sekumpulan pecinta musik akut yang setiap hari di kepala mereka berisi band-band favorit serta segala seluk beluk teknis musik seperti gitar, efek ataupun cerita-cerita biografi. “Mungkin tarafnya sama seperti anak remaja yang menggilai pemain bola dan tim sepak bola,“ kenang Rekti mengenai masa remajanya dulu.

Berangkat dari kecintaan yang dalam terhadap musik serta mengidolakan berbagai band yang sama, maka kala itu mereka berempat sepakat untuk mengubah predikat selama ini dari pendengar musik menjadi pemain musik.

by 

The SIGIT Mendunia

JAKARTA- Segelintir orang pasti sudah mengenal siapa itu The S.I.G.I.T, namun banyak juga yang belum tahu sosok band berprestasi yang satu ini.
The S.I.G.I.T atau singkatan dari The Super Insurgent Group of Intemperance Talent merupakan band rock asal Bandung. Band yang terdiri dari Rektivianto Yoewono, Aditya Bagja Mulyana, Farri Icksan Wibisana, dan Donar Armando Ekana itu sebenarnya tidak ingin dikategorikan pada aliran tertentu. Namun musik mereka digambarkan seperti band rock garasi yang musiknya sering dibandingkan dengan Wolfmother dan The Datsuns.

Pada tahun 2004, mereka merilis mini album yang berjudul The S.I.G.I.T. Sejak merilis album tersebut, nama pelantun “Soul Sister” ini langsung terkenal di Bandung dan Jakarta. Bahkan The S.I.G.I.T sebagai band Rock N Roll terpanas.

Di tahun 2005, nama mereka masuk dalam majalah internasional NME Stereo. Lewat lagu “Black Amplifier”-nya, The S.I.G.I.T mendapat banyak ulasan yang positif. Mereka juga sempat ikut dalam rangkaian tur band asal Australia, Dallas Crane. Setelah itu, mereka menandatangani kontrak bersama salah satu label di Australia dan meluncurkan album perdananya yang berjudul Visible Idea of Perfection.

Tidak berhenti sampai disitu saja, mereka juga pernah tampil di ajang SXSW di Texas dan menggelar tur di California dan Hongkong. Kemudian menggelar sebuah konser tunggal di Bandung dan semua tiketnya terjual habis. (dari berbagai sumber)

(uky)#Okezone

Lanjutan Dari Crossover: Rekti The SIGIT " Perbincangan "

Secara tidak langsung kita banyak persamaan. Selain kita dulu satu SMA, juga satu kampus. Elo dulu sempat tinggal di Prancis ketika SMP. Kebetulan gue juga pernah ikut bokap di Jepang. Apakah kita punya kemiripan pengalaman culture shock? Karena waktu gue umur 13 tahun balik ke Indonesia, ada penyesuaian, lalu belajar bahasa. Di sini gue mengalami culture shock banget.
Ada sih. Saat gue balik itu sedang zaman Onky Alexander. Gue nggak tahu ketika itu di Bandung lagi hype apa. Pas gue datang ke sini, gue nggak langsung main dengan anak-anak Taman Lalu Lintas, seperti Adjie (pemain bas band Full of Hate), atau Kristo Closeminded. Gue main dengan saudara-saudara gue. Gue sikatlah pil koplo dan sebangsanya [tertawa]. Oh, ini ya yang hype? Oke!

Orang Indonesia di zaman itu bully pisan (banget) ya. Gue sampai bingung, orang-orang kenapa begini ya? Perubahan-perubahan kepribadian itu terjadi di masa pertumbuhan.
Gue terus-terusan terlibat perkelahian. Ya namanya juga bawaan pil koplo. Begitulah, teman berantem kita juga mesti ikut berantem. Jadi ya jalurnya yang ‘jalur sono’. Bukan jalur skate dan anak-anak band. Le-bih ke berantem, balap motor.

Pantas waktu SMA jadi ketua keamanan SMA 5 ya.
[Tertawa] Sebenarnya gue jadi ketua keamanan bukan karena preman banget atau bagaimana. Jadi karena ketika gue datang ke sini, banyak ketemu saudara-saudara yang lebih tua dari gue. Merekalah yang preman-preman. Sebelum gue, tuh si Didan ME (anggota salah satu grup di era ’90-an) jadi ketua keamanan [tertawa].

Dan anehnya, istri gue juga dulu anggota keamanan SMA 5 [tertawa].
Sebenarnya tugas keamanan nggak begitu jelas. Cuma jadi keamanan saat bazaar, jadi orang yang negosiasi dengan preman-preman setempat. Lalu kalau ada berantem dengan SMA lain, kami yang turun, kami yang negosiasi. Begitu doang sebenarnya.

Dulu gue anggap, “Anjrit, ini orang seram juga.” Tapi setelah kuliah dan semakin mengenal, “Ini mah jeprut (gokil)”. Menimbang dari budaya premanisme di kota Bandung yang segalanya asal main otot, ketika lihat elo itu rasanya beda. Gila dalam arti juga brainy, kuliah di jurusan seni murni. Gue pikir ini ada pengaruh dari budaya-budaya yang elo serap dari Prancis ya? Karena sampai sekarang masih ada budaya Jepang yang melekat dari diri gue, entah dalam gestur dan lainnya. Pertanyaan gue, ada nggak sih budaya Prancis yang melekat di diri elo sampai sekarang?
Ada sih [tertawa]. Anjing, jadi buka-bukaan begini. Jadi dulu satu hal yang paling mencengangkan teman-teman gue di sini adalah ketika di tahun 1992, gue ke mana-mana mengantungi kondom di dompet gue. Ini hal yang sangat menohok semua teman gue, ”Wah, anjing lu, gila. Wah, parah lu. Wah, lu cabul!”. Gue hanya bingung. Memang kenapa kalau gue mengantungi kondom di dompet? Daripada elo kena AIDS dan segala macam. Elo juga kan nggak sebersih itu, main cewek juga. Hal seperti ini adalah hal yang sangat biasa untuk anak SMP atau SMA di sana (Prancis).

Hal lain adalah karena di sana gue bersekolah di sekolah umum Prancis, yang timbul di benak gue mungkin tentang agama. Gue di sana punya banyak teman yang nggak punya agama, jadi masalah atheis itu bukan suatu hal yang haram. Saat gue balik ke sini, gue dimarahi oleh guru agama, “Kalian kafir, tidak shalat Jumat.” Dalam hati gue, ”Elo ngapain mau tau apa saja dosa-dosa gue?” Ya begitulah. Dan sampai sekarang mindset gue masih seperti itu. Selama gue nggak keluar dari jalur atau sisi humanis, gue nggak takut mengenai masalah agama. Dan gue nggak peduli juga dulu pelajaran agama gue jeblok. Ketiga, dulu gue sangat tercengang dengan orang yang suka usil dengan urusan orang lain.

Sampai sekarang pun gue masih nggak peduli dengan apa kata orang di sekitar gue. Budaya gosip di sini dulu kencang banget, dan dulu ini sangat mengganggu gue. Hal atau mindset ini sempat menjadi pegangan gue ketika melalui masa labil dulu, saat SMP dan SMA. Di sana kan dulu begitu ya, orang sangat individualis. Berkepentingan untuk urus urusan sendiri saja. Tidak perlu mengurusi orang lain. Nggak punya teman banyak juga nggak apa apa, istilahnya.

Nilai-nilai itu elo bawa sampai sekarang?
Iya. Walau kadang-kadang gue suka lupa akan hal itu, karena kehidupan sosial di sini menuntut gue untuk lebih hati-hati. Apalagi saat gue punya band. Gue kadang-kadang suka sadar sendiri, ”Weits, sekarang keponakan-keponakan gue sudah sangat memperhatikan gue.” Ya budaya Timur ternyata pada akhirnya harus gue perhitungkan. Makanya waktu gue bikin tugas akhir kuliah atau foto-foto gue di majalah Ripple, itu memang sudah mindset gue dari dulu. Sebenarnya bukan karena terpengaruh apa-apa juga. Gue pada saat itu belum tahu siapa itu Terry Richardson atau siapalah. Jadi itu kaca mata gue saja yang dulu.

Elo sempat merasa tidak dimengerti? Misalnya apa yang dituangkan pikiran serta hati elo dalam sebuah karya. Tapi seperti tidak mendapatkan respons yang diharapkan.

Sebenarnya ketika membuat tugas akhir, itu bersamaan dengan gue memulai majalah Ripple. Dari karya itu, gue seperti menancapkan ide bahwa, ”Ini yang namanya subkultur di Indonesia bakal jadi gila banget.” Tapi ketika gue bilang itu, berarti gue harus siap dengan segala konsekuensinya. Di saat gue bergerak menggeluti yang namanya kultur, ternyata gue harus terima konsekuensinya di Indonesia ini. Termasuk masalah rewards atau kritik yang gue terima. Pada akhirnya gue hanya menjalani yang gue suka saja sih sebenarnya.

Elo membuat majalah Ripple, yang akhirnya menjadi majalah subkultur pertama yang menawarkan hawa pemberontakan sekaligus hedonisme. Inspirasinya dari mana?
Gue nggak punya latar belakang jurnalistik sama sekali. Nggak bisa menulis, nggak bisa memotret. Tapi gue dulu melatih kepekaan untuk menampilkan apa yang belum pernah terangkat. Itu saja sih. Gue dengan Dendy (Darman, pemilik clothing/distro Unkl347), lebih belajar peka tentang hal itu. Siapa yang kira-kira keren buat diangkat. Nggak peduli mau itu dianggap atau tidak oleh orang lain. Yang penting menurut kami mereka layak. Yang gilanya lagi, dulu ada yang mau iklan terus tidak kita bolehkan [tertawa]. ”Elo mengotori majalah gue.”

Ini dilemanya gila-gilaan. Butuh uang tapi yang mau beriklan tai banget. Gue dan Dendy dulu sangat mementingkan estetika dan esensi majalahnya. Sampai akhirnya beberapa bulan atau tahun setelah itu kami memutuskan, ”Sudahlah, masukkan saja iklannya.” Istilahnya, di majalah Thrasher ada juga merek yang norak. Dan kejadian, begitu ada iklan, jebret! Robin (Malau, gitaris Puppen), datang ke kantor kami dan marah-marah. ”Elo nggak boleh gitu, nanti majalah elo nggak cool lagi”. Walaupun kami agak bingung, atas dasar apa dia marah-marah? Akhirnya kemudian Robin datang dan bekerja dengan kami, bahkan rela bekerja tanpa dibayar. Inilah yang terjadi, ada orang yang datang ingin ikut terlibat dan kontribusinya besar. Itu yang menjadikan atmosfer Ripple ’sehat’.

Berarti Ripple dikerjakan dengan asas labor of love. Ada yang bilang labor of love tidak akan bisa terus bertahan lama karena energi pasti lama-lama berkurang dan bisa habis.
Betul, gue setuju.

Lalu menurut elo bagaimana menyikapi ini? Apakah pada akhirnya kompromi nggak- bisa dihindari? Atau lebih baik mati tapi dulu sempat menjalankan dengan murni dan hasilnya adalah hasil terbaik sesuai zamannya?
Kalau gue flashback ke zaman dulu sih gelap banget ya. Maksudnya, dulu itu informasi serba terbatas, Internet belum sepopuler itu, pilihan belum banyak. Jadi total mengandalkan insting dan intuisi saja untuk menghidupinya. Kalau zaman sekarang menurut gue mengerjakan sesuatu dengan labor of love ini modal banget. Karena sekarang semuanya bisa diakali. Contoh, produk nggak laku, tinggal ke Rekti yang punya follower Twitter banyak, tolong dibantu, bla-bla-bla. Kuncinya ada di konsistensi. Mengerjakan sesuatu dengan penuh cinta. Dan lambat laun cintanya berkurang, asal tetap dikerjakan dan konsisten maka nggak akan mati.

Banyak yang bilang, ”Anjing Yo, elo bikin majalah itu terlalu cepat untuk zamannya.” Tapi nggak apa-apa. Orang Indonesia memang yang kerja di bidang seni itu selalu dituntut kreatif. Bukan hanya kreatif yang fokus di bidangnya saja, tapi dia juga dituntut kreatif untuk cari uang di tempat lain. Memang hal-hal seperti ini yang mengganggu konsistensi kita. Tapi tentunya banyak teman yang lumayan ’mapan’, seperti band yang dapat uang cukup banyak dari merchandise dan lainnya. Gue cuma mau ingatkan untuk jangan terlena dan berhenti di situ saja. Gue lihat, ini tinggal tunggu siapa yang jadi gongnya nih, band Indonesia yang benar-benar mendunia. Belum ada sampai detik ini band/penyanyi Indonesia yang mendunia, kecuali Anggun mungkin. Tapi itu juga banyak faktor pendukung. Pertanyaan gue, siapa dari duta-duta subkultur yang bisa mendobrak ini. Misalnya Burgerkill yang sudah diberi penghargaan di Inggris. Sebenarnya harus ada penyikapan lanjut dari pencapaian yang dia dapat kemarin.

Gue selalu gemas karena musisi Indonesia menurut gue selalu diperlakukan seperti atlet. Pergi ke luar negeri dianggap prestasi, padahal kita sedang mencoba. Diperlakukan seperti atlet maksudnya seolah-olah pergi ke luar negeri mau berlomba. Pulang ke Indonesia, penghargaan yang diberi ke kita adalah karena “membawa nama baik” atau “mengharumkan nama bangsa”. Padahal tujuannya harusnya bukan ke situ.

Karena dianggap seperti atlet, jadinya pencapaian seniman atau musisi dianggap hanya sampai situ. Pergi ke luar negeri, mengharumkan nama bangsa, lalu pulang lagi. Sedangkan ’pergi ke luar’ itu baru masuk pintunya. Jadi mentalitas masyarakatnya juga memang lebih memprioritaskan ke dalam negeri dulu. Seperti Burgerkill atau White Shoes (and the Couples Company), menurut gue mampu banget jualan di luar. Tapi terbentur karena perhatian masyarakat hanya berhenti di, “Oh hebat, mengharumkan nama bangsa.” Selesai. Dari grassroots sampai atas seperti itu. Jadinya tidak ada tindak lanjut lain. Kita sudah ada pembuktian, tapi pembuktian itu tidak disikapi dengan bantuan. Gue yakin musisi Indonesia ingin kariernya jalan di Indonesia maupun di luar negeri.

Menurut gue hal seperti ini perlu sebuah grand design dari manajemen band-nya, yang sampai saat ini juga belum ada manajer band Indonesia yang semampu itu. Mungkin ya. Dan bila ada band yang memang berpotensi, dalam artian punya sikap yang tepat di depan orang-orang, gue pikir pasti bisa.

Gue masih ingat ketika elo bilang ke gue bahwa elo ditawari jadi vokalis Pure Saturday. Gue lumayan kaget karena yang gue tahu elo ingin jadi manajer Pure Saturday.
Gue dulu tidak percaya diri jadi vokalis Pure Saturday. Waktu itu kami sedang dalam titik yang sangat pesimistis, baik gue sebagai manajer juga kami sebagai band. Pesimistis karena setiap orang yang diminta jadi vokalis itu nggak ada yang mau. Ada yang mau tapi nggak tahu latar belakang Pure Saturday. Ada vokalis yang suaranya bagus tapi mengaku nggak tahu tentang PS. Ada yang memang nggak masuk dengan anak-anak. Yang menurut kami orang-orang yang mungkin masuk ke anak-anak, pada nggak mau semua.

by RollingStoneIndonesia

Crossover: Rekti The SIGIT

image
Iyo dari Pure Saturday dan Rekti dari The SIGIT. (Foto: Bayu Adhitya)
 
 Bandung - Mungkin suasana Selasar Sunaryo penyebabnya. Pusat budaya, ruang seni, dan juga kafe bersuasana sejuk di utara kota Bandung itu adalah tempat dua orang teman berbincang dan membicarakan hal-hal bertema budaya.

Cukup unik, karena ketika membicarakan hal-hal budaya tersebut, Satria ‘Iyo’ Nurbambang, vokalis Pure Saturday, berbicara dengan semangat namun dengan perban putih yang melingkar di kepala. Seminggu sebelum wawancara berlangsung, ia terkena musibah. Saat itu ia dan dua temannya sedang bercengkerama di Camden Bar & Lounge, Bandung, setelah menghadiri pesta pernikahan seorang teman.

Ia tiba-tiba dipukul oleh oknum yang disinyalir sebagai aparat kepolisian yang tengah membubarkan bar akibat melanggar peraturan jam malam yang kini sedang diberlakukan untuk tempat hiburan malam di kota Bandung. Namun hal ini dibantah oleh pihak kepolisian yang dalam pernyataannya mengatakan bahwa Iyo dipukul oleh salah satu pengunjung bar.

Akibat kejadian itu, Iyo sempat mendekam di rumah sakit dengan 21 jahitan di keningnya yang sobek, dan hingga kini tidak ada pihak yang mau bertanggung jawab. Dunia maya telah dibanjiri dukungan terhadap Iyo dari para sahabat dan kecaman pada yang berwajib.

Namun di balik kemarahannya, Iyo masih mampu untuk santai dan tertawa walau ia merasa telah menjadi korban dari situasi politik di Bandung. Rektivianto Yoewono, vokalis The SIGIT yang kali ini mewawancara Iyo, merasa takut dengan sosok polisi. “Dari zaman dulu anak muda Bandung pernah punya sejarah buruk dengan polisi. Dan terus terang gue takut dengan sosok polisi. Gue rakyat yang ke mana-mana tidak bawa senjata. Sedangkan mereka membawa senjata. Apabila terjadi friksi yang negatif, sudah pasti gue akan jadi korban,” jelasnya.

Rekti berbicara dengan penuh analisis, sepertinya ia sudah terbiasa dengan itu. Selain sebagai rocker yang sangat populer di kancahnya, ia juga seorang sarjana program studi Meteorologi dari Institut Teknologi Bandung, dan pemegang gelar master di bidang Teknik Lingkungan. Ayahnya seorang dosen di ITB, jadi bisa dipastikan bibit analisis sudah menjadi bagian dari DNA-nya.

Iyo juga adalah seorang lulusan Seni Rupa ITB, dan sudah mengenal Rekti semenjak ia SMP. Rekti termasuk penggemar hasil-hasil tangan dingin Iyo, salah satu eksponen terpenting dari perkembangan subkultur kota Bandung. Iyo bersama kawannya membangun sebuah majalah gaya hidup yang ‘memberontak’ bernama Ripple. Ia juga bermain rock & roll di Teenage Death Star, band garage/punk, lalu menjadi manajer Pure Saturday, legenda Indie Bandung, dan pada akhirnya menjadi vokalisnya.

Dua pria yang saling mengagumi ini berbincang mengenai budaya, pengalaman tinggal di luar negeri, hingga kasus yang menimpa. Tetap dengan kepala dingin, logat Sunda yang sarat kata ‘anjing’ namun dengan analisis tajam dan penuh pengalaman.

Album Terbaik 2013 Menurut Rolling Stone Indonesia

image
Detourn dari The SIGIT menjadi album terbaik 2013. (Sumber: FFWD Records)
Jakarta - 2013 baru saja berlalu beberapa hari yang lalu. Diluar mitosnya sebagai tahun yang memuat angka sial namun yang terjadi justru sebaliknya. Indonesia mesti berterima kasih karena ditengah kondisi babak-belur-hancur-leburnya bisnis di industri musik belakangan ini, sederet talenta musik terbaik Tanah Air mampu merilis karya-karya terbaik mereka di tahun lalu. Di antaranya adalah album-album dari The SIGIT, Frau, White Shoes & The Couples Company, Yacko, Gugun Blues Shelter, Adrian Adioetomo, hingga Morfem.

Daftar di bawah ini adalah semua yang saya konsumsi sepanjang 2013 dan menurut saya terbaik sesuai gairah, minat, selera, persepsi, apresiasi dan penilaian pribadi yang kemudian dengan sok tahunya saya urutkan sesuai ranking. Memang tak semua yang saya simak, baca atau saksikan sepanjang tahun lalu berhasil masuk ke dalam daftar ini, tentunya karena berbagai pertimbangan tersebut di atas.

Tentu tak semua dalam daftar ini datang dari dalam negeri, sederet musik dan pemusik Barat dalam format fisik, digital, tekstual, audio, visual juga telah menjadi bagian dari pekerjaan, perjalanan sekaligus hiburan yang menyenangkan bagi saya sepanjang dua belas bulan lamanya.

Tak perlu murka jika tidak menemukan album terbaik dari musisi idola Anda disini, silakan beritahu apa saja rilisan yang dengan cerobohnya telah saya lewatkan via kanal komentar di bawah ini. Intinya semua ini hanya karena ingin berbagi.....


by RillingStoneIndonesia