Secara tidak langsung kita banyak persamaan. Selain kita dulu
satu SMA, juga satu kampus. Elo dulu sempat tinggal di Prancis ketika
SMP. Kebetulan gue juga pernah ikut bokap di Jepang. Apakah kita punya
kemiripan pengalaman culture shock? Karena waktu gue
umur 13 tahun balik ke Indonesia, ada penyesuaian, lalu belajar bahasa.
Di sini gue mengalami culture shock banget.
Ada sih. Saat gue balik itu sedang zaman Onky Alexander. Gue nggak tahu ketika itu di Bandung lagi hype apa.
Pas gue datang ke sini, gue nggak langsung main dengan anak-anak Taman
Lalu Lintas, seperti Adjie (pemain bas band Full of Hate), atau Kristo
Closeminded. Gue main dengan saudara-saudara gue. Gue sikatlah pil koplo
dan sebangsanya [tertawa]. Oh, ini ya yang hype? Oke!
Orang Indonesia di zaman itu bully pisan (banget) ya. Gue sampai
bingung, orang-orang kenapa begini ya? Perubahan-perubahan kepribadian
itu terjadi di masa pertumbuhan.
Gue terus-terusan terlibat
perkelahian. Ya namanya juga bawaan pil koplo. Begitulah, teman
berantem kita juga mesti ikut berantem. Jadi ya jalurnya yang ‘jalur
sono’. Bukan jalur skate dan anak-anak band. Le-bih ke berantem, balap
motor.
Pantas waktu SMA jadi ketua keamanan SMA 5 ya.
[Tertawa]
Sebenarnya gue jadi ketua keamanan bukan karena preman banget atau
bagaimana. Jadi karena ketika gue datang ke sini, banyak ketemu
saudara-saudara yang lebih tua dari gue. Merekalah yang preman-preman.
Sebelum gue, tuh si Didan ME (anggota salah satu grup di era ’90-an)
jadi ketua keamanan [tertawa].
Dan anehnya, istri gue juga dulu anggota keamanan SMA 5 [tertawa].
Sebenarnya
tugas keamanan nggak begitu jelas. Cuma jadi keamanan saat bazaar, jadi
orang yang negosiasi dengan preman-preman setempat. Lalu kalau ada
berantem dengan SMA lain, kami yang turun, kami yang negosiasi. Begitu
doang sebenarnya.
Dulu gue anggap, “Anjrit, ini orang seram juga.” Tapi setelah
kuliah dan semakin mengenal, “Ini mah jeprut (gokil)”. Menimbang dari
budaya premanisme di kota Bandung yang segalanya asal main otot, ketika
lihat elo itu rasanya beda. Gila dalam arti juga brainy, kuliah
di jurusan seni murni. Gue pikir ini ada pengaruh dari budaya-budaya
yang elo serap dari Prancis ya? Karena sampai sekarang masih ada budaya
Jepang yang melekat dari diri gue, entah dalam gestur dan lainnya.
Pertanyaan gue, ada nggak sih budaya Prancis yang melekat di diri elo
sampai sekarang?
Ada sih [tertawa]. Anjing, jadi
buka-bukaan begini. Jadi dulu satu hal yang paling mencengangkan
teman-teman gue di sini adalah ketika di tahun 1992, gue ke mana-mana
mengantungi kondom di dompet gue. Ini hal yang sangat menohok semua
teman gue, ”Wah, anjing lu, gila. Wah, parah lu. Wah, lu cabul!”. Gue
hanya bingung. Memang kenapa kalau gue mengantungi kondom di dompet?
Daripada elo kena AIDS dan segala macam. Elo juga kan nggak sebersih
itu, main cewek juga. Hal seperti ini adalah hal yang sangat biasa untuk
anak SMP atau SMA di sana (Prancis).
Hal lain adalah karena di sana gue bersekolah di sekolah umum Prancis,
yang timbul di benak gue mungkin tentang agama. Gue di sana punya banyak
teman yang nggak punya agama, jadi masalah atheis itu bukan suatu hal
yang haram. Saat gue balik ke sini, gue dimarahi oleh guru agama,
“Kalian kafir, tidak shalat Jumat.” Dalam hati gue, ”Elo ngapain mau tau
apa saja dosa-dosa gue?” Ya begitulah. Dan sampai sekarang mindset gue
masih seperti itu. Selama gue nggak keluar dari jalur atau sisi
humanis, gue nggak takut mengenai masalah agama. Dan gue nggak peduli
juga dulu pelajaran agama gue jeblok. Ketiga, dulu gue sangat tercengang
dengan orang yang suka usil dengan urusan orang lain.
Sampai sekarang pun gue masih nggak peduli dengan apa kata orang di
sekitar gue. Budaya gosip di sini dulu kencang banget, dan dulu ini
sangat mengganggu gue. Hal atau mindset ini sempat menjadi
pegangan gue ketika melalui masa labil dulu, saat SMP dan SMA. Di sana
kan dulu begitu ya, orang sangat individualis. Berkepentingan untuk urus
urusan sendiri saja. Tidak perlu mengurusi orang lain. Nggak punya
teman banyak juga nggak apa apa, istilahnya.
Nilai-nilai itu elo bawa sampai sekarang?
Iya. Walau
kadang-kadang gue suka lupa akan hal itu, karena kehidupan sosial di
sini menuntut gue untuk lebih hati-hati. Apalagi saat gue punya band.
Gue kadang-kadang suka sadar sendiri, ”Weits, sekarang
keponakan-keponakan gue sudah sangat memperhatikan gue.” Ya budaya Timur
ternyata pada akhirnya harus gue perhitungkan. Makanya waktu gue bikin
tugas akhir kuliah atau foto-foto gue di majalah Ripple, itu memang
sudah mindset gue dari dulu. Sebenarnya bukan karena
terpengaruh apa-apa juga. Gue pada saat itu belum tahu siapa itu Terry
Richardson atau siapalah. Jadi itu kaca mata gue saja yang dulu.
Elo sempat merasa tidak dimengerti? Misalnya apa yang dituangkan
pikiran serta hati elo dalam sebuah karya. Tapi seperti tidak
mendapatkan respons yang diharapkan.
Sebenarnya ketika membuat tugas akhir, itu bersamaan dengan gue memulai
majalah Ripple. Dari karya itu, gue seperti menancapkan ide bahwa, ”Ini
yang namanya subkultur di Indonesia bakal jadi gila banget.” Tapi ketika
gue bilang itu, berarti gue harus siap dengan segala konsekuensinya. Di
saat gue bergerak menggeluti yang namanya kultur, ternyata gue harus
terima konsekuensinya di Indonesia ini. Termasuk masalah rewards atau kritik yang gue terima. Pada akhirnya gue hanya menjalani yang gue suka saja sih sebenarnya.
Elo membuat majalah Ripple, yang akhirnya menjadi majalah
subkultur pertama yang menawarkan hawa pemberontakan sekaligus
hedonisme. Inspirasinya dari mana?
Gue nggak punya latar
belakang jurnalistik sama sekali. Nggak bisa menulis, nggak bisa
memotret. Tapi gue dulu melatih kepekaan untuk menampilkan apa yang
belum pernah terangkat. Itu saja sih. Gue dengan Dendy (Darman, pemilik
clothing/distro Unkl347), lebih belajar peka tentang hal itu. Siapa yang
kira-kira keren buat diangkat. Nggak peduli mau itu dianggap atau tidak
oleh orang lain. Yang penting menurut kami mereka layak. Yang gilanya
lagi, dulu ada yang mau iklan terus tidak kita bolehkan [tertawa]. ”Elo mengotori majalah gue.”
Ini dilemanya gila-gilaan. Butuh uang tapi yang mau beriklan tai banget.
Gue dan Dendy dulu sangat mementingkan estetika dan esensi majalahnya.
Sampai akhirnya beberapa bulan atau tahun setelah itu kami memutuskan,
”Sudahlah, masukkan saja iklannya.” Istilahnya, di majalah Thrasher ada
juga merek yang norak. Dan kejadian, begitu ada iklan, jebret! Robin
(Malau, gitaris Puppen), datang ke kantor kami dan marah-marah. ”Elo
nggak boleh gitu, nanti majalah elo nggak cool lagi”. Walaupun kami agak
bingung, atas dasar apa dia marah-marah? Akhirnya kemudian Robin datang
dan bekerja dengan kami, bahkan rela bekerja tanpa dibayar. Inilah yang
terjadi, ada orang yang datang ingin ikut terlibat dan kontribusinya
besar. Itu yang menjadikan atmosfer Ripple ’sehat’.
Berarti Ripple dikerjakan dengan asas labor of love. Ada yang
bilang labor of love tidak akan bisa terus bertahan lama karena energi
pasti lama-lama berkurang dan bisa habis.
Betul, gue setuju.
Lalu menurut elo bagaimana menyikapi ini? Apakah pada akhirnya
kompromi nggak- bisa dihindari? Atau lebih baik mati tapi dulu sempat
menjalankan dengan murni dan hasilnya adalah hasil terbaik sesuai
zamannya?
Kalau gue flashback ke zaman dulu sih
gelap banget ya. Maksudnya, dulu itu informasi serba terbatas, Internet
belum sepopuler itu, pilihan belum banyak. Jadi total mengandalkan
insting dan intuisi saja untuk menghidupinya. Kalau zaman sekarang
menurut gue mengerjakan sesuatu dengan labor of love ini modal
banget. Karena sekarang semuanya bisa diakali. Contoh, produk nggak
laku, tinggal ke Rekti yang punya follower Twitter banyak, tolong
dibantu, bla-bla-bla. Kuncinya ada di konsistensi. Mengerjakan sesuatu
dengan penuh cinta. Dan lambat laun cintanya berkurang, asal tetap
dikerjakan dan konsisten maka nggak akan mati.
Banyak yang bilang, ”Anjing Yo, elo bikin majalah itu terlalu cepat
untuk zamannya.” Tapi nggak apa-apa. Orang Indonesia memang yang kerja
di bidang seni itu selalu dituntut kreatif. Bukan hanya kreatif yang
fokus di bidangnya saja, tapi dia juga dituntut kreatif untuk cari uang
di tempat lain. Memang hal-hal seperti ini yang mengganggu konsistensi
kita. Tapi tentunya banyak teman yang lumayan ’mapan’, seperti band yang
dapat uang cukup banyak dari merchandise dan lainnya. Gue cuma mau
ingatkan untuk jangan terlena dan berhenti di situ saja. Gue lihat, ini
tinggal tunggu siapa yang jadi gongnya nih, band Indonesia yang
benar-benar mendunia. Belum ada sampai detik ini band/penyanyi Indonesia
yang mendunia, kecuali Anggun mungkin. Tapi itu juga banyak faktor
pendukung. Pertanyaan gue, siapa dari duta-duta subkultur yang bisa
mendobrak ini. Misalnya Burgerkill yang sudah diberi penghargaan di
Inggris. Sebenarnya harus ada penyikapan lanjut dari pencapaian yang dia
dapat kemarin.
Gue selalu gemas karena musisi Indonesia menurut gue selalu diperlakukan
seperti atlet. Pergi ke luar negeri dianggap prestasi, padahal kita
sedang mencoba. Diperlakukan seperti atlet maksudnya seolah-olah pergi
ke luar negeri mau berlomba. Pulang ke Indonesia, penghargaan yang
diberi ke kita adalah karena “membawa nama baik” atau “mengharumkan nama
bangsa”. Padahal tujuannya harusnya bukan ke situ.
Karena dianggap seperti atlet, jadinya pencapaian seniman atau musisi
dianggap hanya sampai situ. Pergi ke luar negeri, mengharumkan nama
bangsa, lalu pulang lagi. Sedangkan ’pergi ke luar’ itu baru masuk
pintunya. Jadi mentalitas masyarakatnya juga memang lebih
memprioritaskan ke dalam negeri dulu. Seperti Burgerkill atau White
Shoes (and the Couples Company), menurut gue mampu banget jualan di
luar. Tapi terbentur karena perhatian masyarakat hanya berhenti di, “Oh
hebat, mengharumkan nama bangsa.” Selesai. Dari grassroots
sampai atas seperti itu. Jadinya tidak ada tindak lanjut lain. Kita
sudah ada pembuktian, tapi pembuktian itu tidak disikapi dengan bantuan.
Gue yakin musisi Indonesia ingin kariernya jalan di Indonesia maupun di
luar negeri.
Menurut gue hal seperti ini perlu sebuah grand design dari manajemen
band-nya, yang sampai saat ini juga belum ada manajer band Indonesia
yang semampu itu. Mungkin ya. Dan bila ada band yang memang berpotensi,
dalam artian punya sikap yang tepat di depan orang-orang, gue pikir
pasti bisa.
Gue masih ingat ketika elo bilang ke gue bahwa elo ditawari jadi
vokalis Pure Saturday. Gue lumayan kaget karena yang gue tahu elo ingin
jadi manajer Pure Saturday.
Gue dulu tidak percaya diri
jadi vokalis Pure Saturday. Waktu itu kami sedang dalam titik yang
sangat pesimistis, baik gue sebagai manajer juga kami sebagai band.
Pesimistis karena setiap orang yang diminta jadi vokalis itu nggak ada
yang mau. Ada yang mau tapi nggak tahu latar belakang Pure Saturday. Ada
vokalis yang suaranya bagus tapi mengaku nggak tahu tentang PS. Ada
yang memang nggak masuk dengan anak-anak. Yang menurut kami orang-orang
yang mungkin masuk ke anak-anak, pada nggak mau semua.
by RollingStoneIndonesia