Secara tidak langsung kita banyak persamaan. Selain kita dulu
satu SMA, juga satu kampus. Elo dulu sempat tinggal di Prancis ketika
SMP. Kebetulan gue juga pernah ikut bokap di Jepang. Apakah kita punya
kemiripan pengalaman culture shock? Karena waktu gue
umur 13 tahun balik ke Indonesia, ada penyesuaian, lalu belajar bahasa.
Di sini gue mengalami culture shock banget.
Ada sih. Saat gue balik itu sedang zaman Onky Alexander. Gue nggak tahu ketika itu di Bandung lagi hype apa. Pas gue datang ke sini, gue nggak langsung main dengan anak-anak Taman Lalu Lintas, seperti Adjie (pemain bas band Full of Hate), atau Kristo Closeminded. Gue main dengan saudara-saudara gue. Gue sikatlah pil koplo dan sebangsanya [tertawa]. Oh, ini ya yang hype? Oke!
Orang Indonesia di zaman itu bully pisan (banget) ya. Gue sampai bingung, orang-orang kenapa begini ya? Perubahan-perubahan kepribadian itu terjadi di masa pertumbuhan.
Gue terus-terusan terlibat perkelahian. Ya namanya juga bawaan pil koplo. Begitulah, teman berantem kita juga mesti ikut berantem. Jadi ya jalurnya yang ‘jalur sono’. Bukan jalur skate dan anak-anak band. Le-bih ke berantem, balap motor.
Pantas waktu SMA jadi ketua keamanan SMA 5 ya.
[Tertawa] Sebenarnya gue jadi ketua keamanan bukan karena preman banget atau bagaimana. Jadi karena ketika gue datang ke sini, banyak ketemu saudara-saudara yang lebih tua dari gue. Merekalah yang preman-preman. Sebelum gue, tuh si Didan ME (anggota salah satu grup di era ’90-an) jadi ketua keamanan [tertawa].
Dan anehnya, istri gue juga dulu anggota keamanan SMA 5 [tertawa].
Sebenarnya tugas keamanan nggak begitu jelas. Cuma jadi keamanan saat bazaar, jadi orang yang negosiasi dengan preman-preman setempat. Lalu kalau ada berantem dengan SMA lain, kami yang turun, kami yang negosiasi. Begitu doang sebenarnya.
Dulu gue anggap, “Anjrit, ini orang seram juga.” Tapi setelah kuliah dan semakin mengenal, “Ini mah jeprut (gokil)”. Menimbang dari budaya premanisme di kota Bandung yang segalanya asal main otot, ketika lihat elo itu rasanya beda. Gila dalam arti juga brainy, kuliah di jurusan seni murni. Gue pikir ini ada pengaruh dari budaya-budaya yang elo serap dari Prancis ya? Karena sampai sekarang masih ada budaya Jepang yang melekat dari diri gue, entah dalam gestur dan lainnya. Pertanyaan gue, ada nggak sih budaya Prancis yang melekat di diri elo sampai sekarang?
Ada sih [tertawa]. Anjing, jadi buka-bukaan begini. Jadi dulu satu hal yang paling mencengangkan teman-teman gue di sini adalah ketika di tahun 1992, gue ke mana-mana mengantungi kondom di dompet gue. Ini hal yang sangat menohok semua teman gue, ”Wah, anjing lu, gila. Wah, parah lu. Wah, lu cabul!”. Gue hanya bingung. Memang kenapa kalau gue mengantungi kondom di dompet? Daripada elo kena AIDS dan segala macam. Elo juga kan nggak sebersih itu, main cewek juga. Hal seperti ini adalah hal yang sangat biasa untuk anak SMP atau SMA di sana (Prancis).
Hal lain adalah karena di sana gue bersekolah di sekolah umum Prancis, yang timbul di benak gue mungkin tentang agama. Gue di sana punya banyak teman yang nggak punya agama, jadi masalah atheis itu bukan suatu hal yang haram. Saat gue balik ke sini, gue dimarahi oleh guru agama, “Kalian kafir, tidak shalat Jumat.” Dalam hati gue, ”Elo ngapain mau tau apa saja dosa-dosa gue?” Ya begitulah. Dan sampai sekarang mindset gue masih seperti itu. Selama gue nggak keluar dari jalur atau sisi humanis, gue nggak takut mengenai masalah agama. Dan gue nggak peduli juga dulu pelajaran agama gue jeblok. Ketiga, dulu gue sangat tercengang dengan orang yang suka usil dengan urusan orang lain.
Sampai sekarang pun gue masih nggak peduli dengan apa kata orang di sekitar gue. Budaya gosip di sini dulu kencang banget, dan dulu ini sangat mengganggu gue. Hal atau mindset ini sempat menjadi pegangan gue ketika melalui masa labil dulu, saat SMP dan SMA. Di sana kan dulu begitu ya, orang sangat individualis. Berkepentingan untuk urus urusan sendiri saja. Tidak perlu mengurusi orang lain. Nggak punya teman banyak juga nggak apa apa, istilahnya.
Nilai-nilai itu elo bawa sampai sekarang?
Iya. Walau kadang-kadang gue suka lupa akan hal itu, karena kehidupan sosial di sini menuntut gue untuk lebih hati-hati. Apalagi saat gue punya band. Gue kadang-kadang suka sadar sendiri, ”Weits, sekarang keponakan-keponakan gue sudah sangat memperhatikan gue.” Ya budaya Timur ternyata pada akhirnya harus gue perhitungkan. Makanya waktu gue bikin tugas akhir kuliah atau foto-foto gue di majalah Ripple, itu memang sudah mindset gue dari dulu. Sebenarnya bukan karena terpengaruh apa-apa juga. Gue pada saat itu belum tahu siapa itu Terry Richardson atau siapalah. Jadi itu kaca mata gue saja yang dulu.
Elo sempat merasa tidak dimengerti? Misalnya apa yang dituangkan pikiran serta hati elo dalam sebuah karya. Tapi seperti tidak mendapatkan respons yang diharapkan.
Sebenarnya ketika membuat tugas akhir, itu bersamaan dengan gue memulai majalah Ripple. Dari karya itu, gue seperti menancapkan ide bahwa, ”Ini yang namanya subkultur di Indonesia bakal jadi gila banget.” Tapi ketika gue bilang itu, berarti gue harus siap dengan segala konsekuensinya. Di saat gue bergerak menggeluti yang namanya kultur, ternyata gue harus terima konsekuensinya di Indonesia ini. Termasuk masalah rewards atau kritik yang gue terima. Pada akhirnya gue hanya menjalani yang gue suka saja sih sebenarnya.
Elo membuat majalah Ripple, yang akhirnya menjadi majalah subkultur pertama yang menawarkan hawa pemberontakan sekaligus hedonisme. Inspirasinya dari mana?
Gue nggak punya latar belakang jurnalistik sama sekali. Nggak bisa menulis, nggak bisa memotret. Tapi gue dulu melatih kepekaan untuk menampilkan apa yang belum pernah terangkat. Itu saja sih. Gue dengan Dendy (Darman, pemilik clothing/distro Unkl347), lebih belajar peka tentang hal itu. Siapa yang kira-kira keren buat diangkat. Nggak peduli mau itu dianggap atau tidak oleh orang lain. Yang penting menurut kami mereka layak. Yang gilanya lagi, dulu ada yang mau iklan terus tidak kita bolehkan [tertawa]. ”Elo mengotori majalah gue.”
Ini dilemanya gila-gilaan. Butuh uang tapi yang mau beriklan tai banget. Gue dan Dendy dulu sangat mementingkan estetika dan esensi majalahnya. Sampai akhirnya beberapa bulan atau tahun setelah itu kami memutuskan, ”Sudahlah, masukkan saja iklannya.” Istilahnya, di majalah Thrasher ada juga merek yang norak. Dan kejadian, begitu ada iklan, jebret! Robin (Malau, gitaris Puppen), datang ke kantor kami dan marah-marah. ”Elo nggak boleh gitu, nanti majalah elo nggak cool lagi”. Walaupun kami agak bingung, atas dasar apa dia marah-marah? Akhirnya kemudian Robin datang dan bekerja dengan kami, bahkan rela bekerja tanpa dibayar. Inilah yang terjadi, ada orang yang datang ingin ikut terlibat dan kontribusinya besar. Itu yang menjadikan atmosfer Ripple ’sehat’.
Berarti Ripple dikerjakan dengan asas labor of love. Ada yang bilang labor of love tidak akan bisa terus bertahan lama karena energi pasti lama-lama berkurang dan bisa habis.
Betul, gue setuju.
Lalu menurut elo bagaimana menyikapi ini? Apakah pada akhirnya kompromi nggak- bisa dihindari? Atau lebih baik mati tapi dulu sempat menjalankan dengan murni dan hasilnya adalah hasil terbaik sesuai zamannya?
Kalau gue flashback ke zaman dulu sih gelap banget ya. Maksudnya, dulu itu informasi serba terbatas, Internet belum sepopuler itu, pilihan belum banyak. Jadi total mengandalkan insting dan intuisi saja untuk menghidupinya. Kalau zaman sekarang menurut gue mengerjakan sesuatu dengan labor of love ini modal banget. Karena sekarang semuanya bisa diakali. Contoh, produk nggak laku, tinggal ke Rekti yang punya follower Twitter banyak, tolong dibantu, bla-bla-bla. Kuncinya ada di konsistensi. Mengerjakan sesuatu dengan penuh cinta. Dan lambat laun cintanya berkurang, asal tetap dikerjakan dan konsisten maka nggak akan mati.
Banyak yang bilang, ”Anjing Yo, elo bikin majalah itu terlalu cepat untuk zamannya.” Tapi nggak apa-apa. Orang Indonesia memang yang kerja di bidang seni itu selalu dituntut kreatif. Bukan hanya kreatif yang fokus di bidangnya saja, tapi dia juga dituntut kreatif untuk cari uang di tempat lain. Memang hal-hal seperti ini yang mengganggu konsistensi kita. Tapi tentunya banyak teman yang lumayan ’mapan’, seperti band yang dapat uang cukup banyak dari merchandise dan lainnya. Gue cuma mau ingatkan untuk jangan terlena dan berhenti di situ saja. Gue lihat, ini tinggal tunggu siapa yang jadi gongnya nih, band Indonesia yang benar-benar mendunia. Belum ada sampai detik ini band/penyanyi Indonesia yang mendunia, kecuali Anggun mungkin. Tapi itu juga banyak faktor pendukung. Pertanyaan gue, siapa dari duta-duta subkultur yang bisa mendobrak ini. Misalnya Burgerkill yang sudah diberi penghargaan di Inggris. Sebenarnya harus ada penyikapan lanjut dari pencapaian yang dia dapat kemarin.
Gue selalu gemas karena musisi Indonesia menurut gue selalu diperlakukan seperti atlet. Pergi ke luar negeri dianggap prestasi, padahal kita sedang mencoba. Diperlakukan seperti atlet maksudnya seolah-olah pergi ke luar negeri mau berlomba. Pulang ke Indonesia, penghargaan yang diberi ke kita adalah karena “membawa nama baik” atau “mengharumkan nama bangsa”. Padahal tujuannya harusnya bukan ke situ.
Karena dianggap seperti atlet, jadinya pencapaian seniman atau musisi dianggap hanya sampai situ. Pergi ke luar negeri, mengharumkan nama bangsa, lalu pulang lagi. Sedangkan ’pergi ke luar’ itu baru masuk pintunya. Jadi mentalitas masyarakatnya juga memang lebih memprioritaskan ke dalam negeri dulu. Seperti Burgerkill atau White Shoes (and the Couples Company), menurut gue mampu banget jualan di luar. Tapi terbentur karena perhatian masyarakat hanya berhenti di, “Oh hebat, mengharumkan nama bangsa.” Selesai. Dari grassroots sampai atas seperti itu. Jadinya tidak ada tindak lanjut lain. Kita sudah ada pembuktian, tapi pembuktian itu tidak disikapi dengan bantuan. Gue yakin musisi Indonesia ingin kariernya jalan di Indonesia maupun di luar negeri.
Menurut gue hal seperti ini perlu sebuah grand design dari manajemen band-nya, yang sampai saat ini juga belum ada manajer band Indonesia yang semampu itu. Mungkin ya. Dan bila ada band yang memang berpotensi, dalam artian punya sikap yang tepat di depan orang-orang, gue pikir pasti bisa.
Gue masih ingat ketika elo bilang ke gue bahwa elo ditawari jadi vokalis Pure Saturday. Gue lumayan kaget karena yang gue tahu elo ingin jadi manajer Pure Saturday.
Gue dulu tidak percaya diri jadi vokalis Pure Saturday. Waktu itu kami sedang dalam titik yang sangat pesimistis, baik gue sebagai manajer juga kami sebagai band. Pesimistis karena setiap orang yang diminta jadi vokalis itu nggak ada yang mau. Ada yang mau tapi nggak tahu latar belakang Pure Saturday. Ada vokalis yang suaranya bagus tapi mengaku nggak tahu tentang PS. Ada yang memang nggak masuk dengan anak-anak. Yang menurut kami orang-orang yang mungkin masuk ke anak-anak, pada nggak mau semua.
by RollingStoneIndonesia
Ada sih. Saat gue balik itu sedang zaman Onky Alexander. Gue nggak tahu ketika itu di Bandung lagi hype apa. Pas gue datang ke sini, gue nggak langsung main dengan anak-anak Taman Lalu Lintas, seperti Adjie (pemain bas band Full of Hate), atau Kristo Closeminded. Gue main dengan saudara-saudara gue. Gue sikatlah pil koplo dan sebangsanya [tertawa]. Oh, ini ya yang hype? Oke!
Orang Indonesia di zaman itu bully pisan (banget) ya. Gue sampai bingung, orang-orang kenapa begini ya? Perubahan-perubahan kepribadian itu terjadi di masa pertumbuhan.
Gue terus-terusan terlibat perkelahian. Ya namanya juga bawaan pil koplo. Begitulah, teman berantem kita juga mesti ikut berantem. Jadi ya jalurnya yang ‘jalur sono’. Bukan jalur skate dan anak-anak band. Le-bih ke berantem, balap motor.
Pantas waktu SMA jadi ketua keamanan SMA 5 ya.
[Tertawa] Sebenarnya gue jadi ketua keamanan bukan karena preman banget atau bagaimana. Jadi karena ketika gue datang ke sini, banyak ketemu saudara-saudara yang lebih tua dari gue. Merekalah yang preman-preman. Sebelum gue, tuh si Didan ME (anggota salah satu grup di era ’90-an) jadi ketua keamanan [tertawa].
Dan anehnya, istri gue juga dulu anggota keamanan SMA 5 [tertawa].
Sebenarnya tugas keamanan nggak begitu jelas. Cuma jadi keamanan saat bazaar, jadi orang yang negosiasi dengan preman-preman setempat. Lalu kalau ada berantem dengan SMA lain, kami yang turun, kami yang negosiasi. Begitu doang sebenarnya.
Dulu gue anggap, “Anjrit, ini orang seram juga.” Tapi setelah kuliah dan semakin mengenal, “Ini mah jeprut (gokil)”. Menimbang dari budaya premanisme di kota Bandung yang segalanya asal main otot, ketika lihat elo itu rasanya beda. Gila dalam arti juga brainy, kuliah di jurusan seni murni. Gue pikir ini ada pengaruh dari budaya-budaya yang elo serap dari Prancis ya? Karena sampai sekarang masih ada budaya Jepang yang melekat dari diri gue, entah dalam gestur dan lainnya. Pertanyaan gue, ada nggak sih budaya Prancis yang melekat di diri elo sampai sekarang?
Ada sih [tertawa]. Anjing, jadi buka-bukaan begini. Jadi dulu satu hal yang paling mencengangkan teman-teman gue di sini adalah ketika di tahun 1992, gue ke mana-mana mengantungi kondom di dompet gue. Ini hal yang sangat menohok semua teman gue, ”Wah, anjing lu, gila. Wah, parah lu. Wah, lu cabul!”. Gue hanya bingung. Memang kenapa kalau gue mengantungi kondom di dompet? Daripada elo kena AIDS dan segala macam. Elo juga kan nggak sebersih itu, main cewek juga. Hal seperti ini adalah hal yang sangat biasa untuk anak SMP atau SMA di sana (Prancis).
Hal lain adalah karena di sana gue bersekolah di sekolah umum Prancis, yang timbul di benak gue mungkin tentang agama. Gue di sana punya banyak teman yang nggak punya agama, jadi masalah atheis itu bukan suatu hal yang haram. Saat gue balik ke sini, gue dimarahi oleh guru agama, “Kalian kafir, tidak shalat Jumat.” Dalam hati gue, ”Elo ngapain mau tau apa saja dosa-dosa gue?” Ya begitulah. Dan sampai sekarang mindset gue masih seperti itu. Selama gue nggak keluar dari jalur atau sisi humanis, gue nggak takut mengenai masalah agama. Dan gue nggak peduli juga dulu pelajaran agama gue jeblok. Ketiga, dulu gue sangat tercengang dengan orang yang suka usil dengan urusan orang lain.
Sampai sekarang pun gue masih nggak peduli dengan apa kata orang di sekitar gue. Budaya gosip di sini dulu kencang banget, dan dulu ini sangat mengganggu gue. Hal atau mindset ini sempat menjadi pegangan gue ketika melalui masa labil dulu, saat SMP dan SMA. Di sana kan dulu begitu ya, orang sangat individualis. Berkepentingan untuk urus urusan sendiri saja. Tidak perlu mengurusi orang lain. Nggak punya teman banyak juga nggak apa apa, istilahnya.
Nilai-nilai itu elo bawa sampai sekarang?
Iya. Walau kadang-kadang gue suka lupa akan hal itu, karena kehidupan sosial di sini menuntut gue untuk lebih hati-hati. Apalagi saat gue punya band. Gue kadang-kadang suka sadar sendiri, ”Weits, sekarang keponakan-keponakan gue sudah sangat memperhatikan gue.” Ya budaya Timur ternyata pada akhirnya harus gue perhitungkan. Makanya waktu gue bikin tugas akhir kuliah atau foto-foto gue di majalah Ripple, itu memang sudah mindset gue dari dulu. Sebenarnya bukan karena terpengaruh apa-apa juga. Gue pada saat itu belum tahu siapa itu Terry Richardson atau siapalah. Jadi itu kaca mata gue saja yang dulu.
Elo sempat merasa tidak dimengerti? Misalnya apa yang dituangkan pikiran serta hati elo dalam sebuah karya. Tapi seperti tidak mendapatkan respons yang diharapkan.
Sebenarnya ketika membuat tugas akhir, itu bersamaan dengan gue memulai majalah Ripple. Dari karya itu, gue seperti menancapkan ide bahwa, ”Ini yang namanya subkultur di Indonesia bakal jadi gila banget.” Tapi ketika gue bilang itu, berarti gue harus siap dengan segala konsekuensinya. Di saat gue bergerak menggeluti yang namanya kultur, ternyata gue harus terima konsekuensinya di Indonesia ini. Termasuk masalah rewards atau kritik yang gue terima. Pada akhirnya gue hanya menjalani yang gue suka saja sih sebenarnya.
Elo membuat majalah Ripple, yang akhirnya menjadi majalah subkultur pertama yang menawarkan hawa pemberontakan sekaligus hedonisme. Inspirasinya dari mana?
Gue nggak punya latar belakang jurnalistik sama sekali. Nggak bisa menulis, nggak bisa memotret. Tapi gue dulu melatih kepekaan untuk menampilkan apa yang belum pernah terangkat. Itu saja sih. Gue dengan Dendy (Darman, pemilik clothing/distro Unkl347), lebih belajar peka tentang hal itu. Siapa yang kira-kira keren buat diangkat. Nggak peduli mau itu dianggap atau tidak oleh orang lain. Yang penting menurut kami mereka layak. Yang gilanya lagi, dulu ada yang mau iklan terus tidak kita bolehkan [tertawa]. ”Elo mengotori majalah gue.”
Ini dilemanya gila-gilaan. Butuh uang tapi yang mau beriklan tai banget. Gue dan Dendy dulu sangat mementingkan estetika dan esensi majalahnya. Sampai akhirnya beberapa bulan atau tahun setelah itu kami memutuskan, ”Sudahlah, masukkan saja iklannya.” Istilahnya, di majalah Thrasher ada juga merek yang norak. Dan kejadian, begitu ada iklan, jebret! Robin (Malau, gitaris Puppen), datang ke kantor kami dan marah-marah. ”Elo nggak boleh gitu, nanti majalah elo nggak cool lagi”. Walaupun kami agak bingung, atas dasar apa dia marah-marah? Akhirnya kemudian Robin datang dan bekerja dengan kami, bahkan rela bekerja tanpa dibayar. Inilah yang terjadi, ada orang yang datang ingin ikut terlibat dan kontribusinya besar. Itu yang menjadikan atmosfer Ripple ’sehat’.
Berarti Ripple dikerjakan dengan asas labor of love. Ada yang bilang labor of love tidak akan bisa terus bertahan lama karena energi pasti lama-lama berkurang dan bisa habis.
Betul, gue setuju.
Lalu menurut elo bagaimana menyikapi ini? Apakah pada akhirnya kompromi nggak- bisa dihindari? Atau lebih baik mati tapi dulu sempat menjalankan dengan murni dan hasilnya adalah hasil terbaik sesuai zamannya?
Kalau gue flashback ke zaman dulu sih gelap banget ya. Maksudnya, dulu itu informasi serba terbatas, Internet belum sepopuler itu, pilihan belum banyak. Jadi total mengandalkan insting dan intuisi saja untuk menghidupinya. Kalau zaman sekarang menurut gue mengerjakan sesuatu dengan labor of love ini modal banget. Karena sekarang semuanya bisa diakali. Contoh, produk nggak laku, tinggal ke Rekti yang punya follower Twitter banyak, tolong dibantu, bla-bla-bla. Kuncinya ada di konsistensi. Mengerjakan sesuatu dengan penuh cinta. Dan lambat laun cintanya berkurang, asal tetap dikerjakan dan konsisten maka nggak akan mati.
Banyak yang bilang, ”Anjing Yo, elo bikin majalah itu terlalu cepat untuk zamannya.” Tapi nggak apa-apa. Orang Indonesia memang yang kerja di bidang seni itu selalu dituntut kreatif. Bukan hanya kreatif yang fokus di bidangnya saja, tapi dia juga dituntut kreatif untuk cari uang di tempat lain. Memang hal-hal seperti ini yang mengganggu konsistensi kita. Tapi tentunya banyak teman yang lumayan ’mapan’, seperti band yang dapat uang cukup banyak dari merchandise dan lainnya. Gue cuma mau ingatkan untuk jangan terlena dan berhenti di situ saja. Gue lihat, ini tinggal tunggu siapa yang jadi gongnya nih, band Indonesia yang benar-benar mendunia. Belum ada sampai detik ini band/penyanyi Indonesia yang mendunia, kecuali Anggun mungkin. Tapi itu juga banyak faktor pendukung. Pertanyaan gue, siapa dari duta-duta subkultur yang bisa mendobrak ini. Misalnya Burgerkill yang sudah diberi penghargaan di Inggris. Sebenarnya harus ada penyikapan lanjut dari pencapaian yang dia dapat kemarin.
Gue selalu gemas karena musisi Indonesia menurut gue selalu diperlakukan seperti atlet. Pergi ke luar negeri dianggap prestasi, padahal kita sedang mencoba. Diperlakukan seperti atlet maksudnya seolah-olah pergi ke luar negeri mau berlomba. Pulang ke Indonesia, penghargaan yang diberi ke kita adalah karena “membawa nama baik” atau “mengharumkan nama bangsa”. Padahal tujuannya harusnya bukan ke situ.
Karena dianggap seperti atlet, jadinya pencapaian seniman atau musisi dianggap hanya sampai situ. Pergi ke luar negeri, mengharumkan nama bangsa, lalu pulang lagi. Sedangkan ’pergi ke luar’ itu baru masuk pintunya. Jadi mentalitas masyarakatnya juga memang lebih memprioritaskan ke dalam negeri dulu. Seperti Burgerkill atau White Shoes (and the Couples Company), menurut gue mampu banget jualan di luar. Tapi terbentur karena perhatian masyarakat hanya berhenti di, “Oh hebat, mengharumkan nama bangsa.” Selesai. Dari grassroots sampai atas seperti itu. Jadinya tidak ada tindak lanjut lain. Kita sudah ada pembuktian, tapi pembuktian itu tidak disikapi dengan bantuan. Gue yakin musisi Indonesia ingin kariernya jalan di Indonesia maupun di luar negeri.
Menurut gue hal seperti ini perlu sebuah grand design dari manajemen band-nya, yang sampai saat ini juga belum ada manajer band Indonesia yang semampu itu. Mungkin ya. Dan bila ada band yang memang berpotensi, dalam artian punya sikap yang tepat di depan orang-orang, gue pikir pasti bisa.
Gue masih ingat ketika elo bilang ke gue bahwa elo ditawari jadi vokalis Pure Saturday. Gue lumayan kaget karena yang gue tahu elo ingin jadi manajer Pure Saturday.
Gue dulu tidak percaya diri jadi vokalis Pure Saturday. Waktu itu kami sedang dalam titik yang sangat pesimistis, baik gue sebagai manajer juga kami sebagai band. Pesimistis karena setiap orang yang diminta jadi vokalis itu nggak ada yang mau. Ada yang mau tapi nggak tahu latar belakang Pure Saturday. Ada vokalis yang suaranya bagus tapi mengaku nggak tahu tentang PS. Ada yang memang nggak masuk dengan anak-anak. Yang menurut kami orang-orang yang mungkin masuk ke anak-anak, pada nggak mau semua.
by RollingStoneIndonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar